MITOS DALAM PEMBELAJARAN KOOPERATIF
(JOHNSON AND JOHNSON,1984:73)
Banyak
asumsi yang tidak benar mengenai pembelajaran kooperatif, mengenai tentang
bagaimana sekolah seharusnya dan bagaimana siswa dilatih untuk melakukan
pembelajaran kooperatif ini. Pembahasan kali ini menyangkut serangkaian pertanyaan berdasarkan asumsi yang salah
dan mengeksplorasi beberapa mitos
tentang sekolah dan mengajar.
1.Sekolah Harus Menekankan
Persaingan
“Dalam sebuah artikelnya Ted Panitz (1996)
menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu filsafat personal, bukan
sekadar teknik pembelajaran di kelas. Menurutnya, kooperatif adalah filsafat
interaksi dan gaya hidup yang menjadikan kerjasama sebagai suatu struktur
interaksi yang dirancang sedemikian rupa guna memudahkan usaha kolektif untuk
mencapai tujuan bersama”. Dari kutipan diatas dapat kita simpulkan bahwa pembelajaran kooperatif
adalah belajar secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama, jadi jelas
bahwa belajar kooperatif tidak
menekankan persaingan tapi lebih menekankan pada pencapaian tujuan bersama.
Sebagai contoh sebuah kelompok belajar didalam kelas diberi tugas membuat
ringkasan, disini guru tidak menilai ringkasan kelompok mana yang paling baik
tapi guru mengharapkan setiap kelompok bisa membuat ringkasan sesuai waktu yang
sudah ditentukan,inilah sebagai tujuan.
2.Siswa Yang Berkemampuan Dibebani
Dengan Bekerja Dalam Kelompok Belajar Yang Hetergen
Pada segala situasi,
ketika sejumlah orang berada dalam suatu kelompok, kooperatif merupakan suatu
cara untuk berhubungan dengan saling menghormati dan menghargai kemampuan dan
sumbangan setiap anggota kelompok. Di dalamnya terdapat pembagian kewenangan dan
penerimaan tanggung jawab diantara para anggota kelompok untuk melaksanakan
tindakan kelompok. Para praktisi pembelajaran kooperatif memanfaatkan filsafat
ini di kelas, dalam rapat-rapat komite, dalam berbagai komunitas, dalam
keluarga dan secara luas sebagai cara hidup dengan dan dalam berhubungan dengan
sesama.
John Myers (1991)” merujuk pada
kamus untuk menjelaskan definisi cooperative
yang berasal dari akar kata Latin dengan makna yang menitikberatkan
proses kerjasama”. Dari yang disampaikan John Myers(1991) sudah tampak
jelas bahwa pembelajaran kooperatif adalah proses belajar bersama dalam artian
setiap individu mempunyai kewenangan dan tanggung jawab melaksanakan setiap
tugas yang dibebankan pada setiap anggota kelompok. Dengan kata lain tidak ada
siswa secara individual yang akan terbebani dengan tugas yang diberikan guru.
Menurut Johnsons (1974)”Saling ketergantungan positif”.
Dalam pembelajaran ini setiap siswa harus merasa bahwa ia bergantung secara
positif dan terikat dengan antarsesama anggota kelompoknya dengan tanggung
jawab:
a. Menguasai bahan
pelajaran
b. Memastikan bahwa semua
anggota kelompoknya pun menguasainya. Mereka merasa tidak akan sukses bila
siswa lain juga tidak sukses.
3.
Setiap Anggota Melakukan Tugas Dan Mendapatkan Nilai Yang Sama.
Menurut Johnsons (1974),” Interaksi langsung antarsiswa”. Hasil belajar
yang terbaik dapat diperoleh dengan adanya komunikasi verbal antarsiswa yang
didukung oleh saling ketergantungan positif. Siswa harus saling berhadapan dan
saling membantu dalam pencapaian tujuan belajar. Pertanggungajawaban
individu. Agar dalam suatu kelompok siswa dapat menyumbang, mendukung dan
membantu satu sama lain, setiap siswa dituntut harus menguasai materi yang
dijadikan pokok bahasan. Dengan demikian setiap anggota kelompok bertanggung
jawab untuk mempelajari pokok bahasan dan bertanggung jawab pula terhadap hasil
belajar kelompok. Keterampilan berkooperatif. Keterampilan sosial siswa
sangat penting dalam pembelajaran. Siswa dituntut mempunyai keterampilan kooperatif,
sehingga dalam kelompok tercipta interaksi yang dinamis untuk saling belajar
dan membelajarkan sebagai bagian dari proses belajar kooperatif. Keefektifan
proses kelompok. Siswa memproses keefektifan kelompok belajarnya dengan
cara menjelaskan tindakan mana yang dapat menyumbang belajar dan mana yang
tidak serta membuat keputusan-keputusan tindakan yang dapat dilanjutkan atau
yang perlu diubah. John
Hopkins University,“Learning Together”. Dalam metode ini kelompok-kelompok
sekelas beranggotakan siswa-siswa yang beragam kemampuannya. Tiap kelompok
bekerjasama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Satu kelompok
hanya menerima dan mengerjakan satu set lembar tugas. Penilaian didasarkan pada
hasil kerja kelompok.
4. Nilai Kelompok Dibagi Dengan
Jumlah Anggota Kelompok
John Hopkins University “Setelah belajar bersama kelompoknya sendiri, para anggota suatu
kelompok akan berlomba dengan anggota kelompok lain sesuai dengan tingkat
kemampuan masing-masing. Penilaian didasarkan pada jumlah nilai yang diperoleh
kelompok”.
Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa nilai kelompok tidaklah dibagi
dengan jumlah kelompok tapi nilai kelompok diperoleh dari seberapa besar usaha
kelompok untuk mendapat nilai terbaik.
5. Pembelajaran Kooperatif Itu Mudah
Dapat direkonstruksi
unsur-unsur pembelajaran kooperatif sebagai berikut: suatu filsafat pengajaran,
bukan serangkaian teknik untuk mengurangi tugas guru dan mengalihkan
tugas-tugasnya kepada para siswa. Hal terakhir ini perlu ditekankan karena
mungkin begitulah kesan banyak orang tentang pembelajaran kooperatif. Mereka
merasa bahwa tidak ada yang dapat menandingi pembelajaran konvensional, yang
menempatkan guru sebagai satu-satunya pemegang otoritas pembelajaran di
kelasnya.
Meskipun demikian,
tidak ada maksud untuk meremehkan seluruh metode pembelajaran konvensional
(tradisional). Namun, pembelajaran konvensional kurang efektif untuk
menumbuhkembangkan minat belajar siswa terhadap bahan-bahan pembelajaran.
Mungkin saja para siswa mempelajari lebih banyak materi pelajaran dalam
pembelajaran konvensional, tetapi mungkin pula mereka akan segera melupakannya
jika tidak terinternalisasi dalam perubahan perilaku yang sesuai dengan
nilai-nilai yang dipelajari. Gagne (1992:6)”mengartikan pembelajaran bertolak Dari hakikat belajar sebagai berikut: Perubahan perilaku manusia dan
dalam kemampuan mereka untuk perilaku tertentu mengambil tempat berikut pengalaman mereka dalam situasi indentifiable tertentu. Situasi
ini merangsang individu sedemikian rupa untuk membawa tentang
perubahan dalam
perilaku. Proses yang membuat perubahan
tersebut terjadi disebut belajar, dan situasi yang
menentukan proses berlakunya disebut situasi belajar”.
Dengan demikian,
pembelajaran kooperatif dapat didefinisikan sebagai filsafat pembelajaran yang
memudahkan para siswa bekerjasama, saling membina, belajar dan berubah bersama,
serta maju bersama pula. Inilah filsafat yang dibutuhkan dunia global saat ini.
Bila orang-orang yang berbeda dapat belajar untuk bekerjasama di dalam kelas,
di kemudian hari mereka lebih dapat diharapkan untuk menjadi warganegara yang
lebih baik bagi bangsa dan negaranya, bahkan bagi seluruh dunia. Akan lebih
mudah bagi mereka untuk berinteraksi secara positif dengan orang-orang yang
berbeda pola pikirnya, bukan hanya dalam skala lokal, melainkan juga dalam
skala nasional bahkan mondial.
Pembelajaran kooperatif memudahkan para siswa belajar dan
bekerja bersama, saling menyumbangkan pemikiran dan bertanggung jawab terhadap
pencapaian hasil belajar secara kelompok maupun individu. Dari uraian diatas
dapat kita simpulkan bahwa pembelajaran kooperatif tidaklah mudah.
6. Sekolah Dapat Berubah Dalam
Sekejap
Sekolah dapat
dipandang sebagai “masyarakat mini”, tempat para siswa belajar
mengaktualisasikan diri dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Lebih
kecil lagi, dalam kegiatan belajar mengajar, lingkungan kelas pun merupakan setting
sosial untuk mendukung konstruksi pengetahuan, sebagaimana dikatakan Waras
(1997): “Lingkungan belajar juga mencakup
organisasi sosial dan interaksi antara siswa-guru dan siswa-siswa.”
Mengutip pandangan Driver dan Leach (1993)
serta Connor (1990), Waras (1997) merinci
karakteristik lingkungan kelas yang berperspektif konstruktivis antara lain
sebagai berikut:
- siswa tidak dipandang secara pasif, tetapi aktif untuk belajar mereka sendiri – mereka membawa konsepsi mereka ke dalam situasi belajar;
- belajar mengutamakan proses aktif siswa mengkonstruksi makna, dan acapkali dengan melalui negosiasi interpersonal;
- pengetahuan tidak bersifat “out there”, tetapi terkonstruk secara personal dan secara sosial;
- guru juga membawa konsepsi mereka ke dalam situasi belajar, tidak hanya dalam hal pengetahuan mereka, tetapi juga pandangan mereka terhadap belajar dan mengajar yang dapat memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan siswa di dalam kelas;
- pengajaran bukan mentransmisi pengetahuan tetapi mencakup organisasi situasi di dalam kelas dan desain tugas yang memudahkan siswa menemukan makna; dan
- kurikulum bukan sesuatu yang perlu dipelajari tetapi program-program tugas belajar, bahan-bahan, sumber-sumber lain, dan wacana dari mana siswa mengkonstruk pengetahuan mereka.
Demikianlah dalam pembelajaran kooperatif
diciptakan lingkungan sosial yang kondusif untuk terlaksananya interaksi yang
memadukan segenap kemauan dan kemampuan belajar siswa. Lingkungan yang dibentuk
berupa kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari empat atau lima siswa pada
setiap kelas dengan anggota-anggota kelompok yang sedapat mungkin tidak
bersifat homogen. Artinya, anggota-anggota suatu kelompok diupayakan terdiri
dari siswa laki-laki dan perempuan, siswa yang relatif aktif dan yang kurang
aktif, siswa yang relatif pintar dan yang kurang pintar. Dengan komposisi
sedemikian itu dapat diharapkan terlaksananya peran tutorbeserta tutee antarteman
dalam setiap kelompok. Setiap kelompok bersifat heterogen jadi akan membutuhkan
proses penyatuan pemahaman yang lama. Sekolah memberikan kebebasan kepada guru
untuk meggunakan metode pembelajaran kooperatif sehingga tercapai apa yang
diharapkan yaitu perubahan prestasi sekolah. Namun, hal ini tidak lah mudah,ini
membutuhkan proses baik siswa, guru maupun sekolah.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking